MIRIS sekali mengamati perkembangan konflik antara masyarakat adat di Tano Batak dengan perusahaan kertas dan pulp, PT TPL belakangan ini.
Semakin hari semakin terlihat betapa banyaknya ketidakadilan terjadi di balik keinginan pemerintah untuk mengakselerasi investasi di daerah, sampai-sampai historisitas lahan dan identitas lokal yang sejak dulu kala mengitari lahan-lahan tersebut dan dipelihara turun temurun oleh orang lokal sudah tak lagi menjadi pertimbangan penting dalam pengambilan keputusan pengembangan investasi di daerah.
Dalam buku barunya yang terbit awal tahun 2025 ini, “Land Power” (Januari, 2025), Michael Albertus mengatakan, betapa masih pentingnya urusan lahan dan tanah di hari ini.
Barang siapa menguasai lahan, maka akan memiliki kekuasaan, baik secara ekonomi, politik, keamanan, dan juga geopolitik.
Sehingga secara teknis dikaitkan dengan kasus yang menimpa masyarakat adat di Tano Batak, pemberian konsesi kepada perusahaan di lahan adat atau tanah adat di Tano Batak memiliki arti bahwa pemerintah dan pengusaha memang sedang mempreteli kehidupan masyarakat adat setempat dari berbagai sisi.
Kabar-kabar yang memberitakan konflik ini, yang sempat saya terima via berbagai channel informasi dan media sosial, memang semakin cenderung memperlihatkan betapa masyarakat adat di sana dari hari ke hari semakin terlemahkan.
Bahkan, pelan-pelan malah menjadi korban kekerasan pihak keamanan, yang bertindak semakin brutal dan kasar menghadapi penolakan dari masyarakat adat setempat.
Mereka mengalami pelecehan politik dan ekonomi justru di atas tanah yang selama ini menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas ekonomi dan budaya mereka. Miris sekali memang.
Namun, sebagaimana diceritakan oleh Michael Albertus, saat ini tendensi di negara-negara maju sudah mulai berubah.
Di Amerika Serikat, Australia, Kanada, New Zealand, bahkan di Jepang, justru keinginan untuk memberikan pengakuan kepada tanah adat dan kedaulatan masyarakat adat semakin masif terjadi.
Masyarakat-masyarakat adat di negara-negara maju itu tidak saja diakui secara hukum, tapi juga semakin diberi ruang untuk mengelola lahan dan tanah mereka sendiri.
Fenomena “perampasan lahan” yang sudah mulai menjadi fenomena sejarah abad ke enam belas sampai abad ke sembilan belas, mulai dianggap kuno dan kurang elegan untuk dipertahankan.
Meskipun fenomena pengakuan secara masif terhadap lahan masyarakat adat ini tidak serta merta membuat lahan-lahan tersebut dikelola secara mandiri oleh masyarakat adat untuk kepentingan ekonomi, karena biasanya diserahkan kembali dalam bentuk lahan yang sudah dianggap sebagai cagar alam dan hutan lindung. Namun penguatan atas pengakuan keberadaan lahan adat semakin terlihat di mana-mana.
Artinya, jika ada intensi untuk menjadikan lahan-lahan tersebut sebagai lahan produktif yang akan dikelola oleh pihak investor, misalnya, maka pemerintah akan ada di barisan depan untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat adat terlebih dahulu, sebelum memikirkan kepentingan investasi.
Dengan kata lain, investasi akan berlanjut jika kepentingan-kepentingan masyarakat adat di lahan yang akan digarap terakomodasi secara maksimal terlebih dahulu, sebelum investasi direalisasikan.
Anehnya, di Indonesia praktiknya masih jauh tertinggal, seolah-olah kita masih berada di abad 18 atau 19 di mana penguasa dan pemerintah tanpa banyak pertimbangan justru memberikan atau memperpanjang konsesi lahan di atas tanah adat, menonton bahkan mendukung terjadinya pengambilalihan lahan adat atas nama investasi, dan membiarkan masyarakat adat bergumul sendiri mempertahankan lahannya dalam keadaan lemah tak berdaya.
Tidak terlihat lagi ada perwujudan kata-kata “keadilan” di dalam praktik-praktik investasi di lahan adat saat ini.
Seolah janji-janji keadilan yang disampaikan para penguasa, mulai dari tingkat nasional hingga lokal, di saat kontestasi, hanya berupa pepesan kosong belaka, saat disandingkan dengan orang-orang dari komunitas adat Tano Batak yang “digebuki” oleh pihak keamanan perusahaan tanpa tedeng aling-aling, misalnya.
Saya berusaha untuk mendalami konflik ini. Nyatanya memang sudah menahun dan pemerintah nampaknya jarang berada pada posisi untuk membela kepentingan masyarakat adat setempat.
Konflik kepemilikan Hutan Adat Pandumaan dan Sipituhuta, misalnya, telah menjadi permasalahan berkepanjangan sejak November 1983. Namun mencapai puncak ketegangan pada 2007, ketika PT. TPL mengambil alih kontrol atas hutan tersebut.
Konflik berkepanjangan di sekitar Hutan Adat Pandumaan dan Sipituhuta Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan bermula dari keyakinan masyarakat setempat bahwa area hutan tersebut adalah milik nenek moyang mereka.
Namun, keyakinan tersebut terbuyarkan ketika pemerintah memberikan izin Hak Guna Usaha (HGU) kepada perusahaan PT. TPL untuk mengelola dan memanfaatkan hutan tersebut sebagai areal konsensi.
Wajar kemudian jika masyarakat Pandumaan dan Sipituhuta merasa hak-hak tradisional mereka sedang dipreteli, lalu melakukan perlawanan.
Sulit dibayangkan memang praktik semacam ini masih dipertahankan sampai hari ini, walaupun saya meyakini dan sempat menyaksikan di berbagai daerah, hal semacam ini masih lazim terjadi di Indonesia.
Berbekal dukungan dan status legal pemberian pemerintah, terutama dari pusat, pihak pengusaha dan perusahaan semena-mena di daerah, terutama kepada masyarakat daerah.
Mereka merasa telah “beres” berurusan dengan pemerintah di pusat dan seolah-olah telah diberi diskresi untuk berbuat apa saja di lahan tersebut.
Di satu sisi, sejatinya sangat bisa dipahami mengapa komunitas adat di daerah-daerah yang masuk konsesi perusahaan berupaya mempertahankan wilayah adat mereka.
Rakyat menganggap sudah sejak dahulu kala lahan-lahan tersebut menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari mereka, baik secara ekonomi, politik, dan budaya.
Di sisi lain, ada pihak lain yang asing bagi masyarakat tiba-tiba diberi kuasa untuk menggarap lahan yang sudah sejak era nenek moyang dulu berada di pihak masyarakat setempat, plus bertindak sesuka hatinya di lahan tersebut saat mendapat penolakan.
Lalu dalam perjalanannya, tiba-tiba pula secara politik, ekonomi, dan keamanan, pihak perusahaan semakin agresif “menyakiti” masyarakat yang sedang berjuang “hidup-mati” mempertahankan ruang hidup dan identitas kultural mereka di atas lahan yang telah ratusan tahun mereka tinggali. Bisa dibayangkan bagaimana rasanya.
“What greater grief than the loss of one’s native land”, ucap Euripides ratusan tahun lalu.
Ya, kehilangan “native land” adalah salah satu duka mendalam yang dialami oleh umat manusia. Saya yakin, rasanya akan persis sama dengan dijajah, karena dikangkangi hak-hak di atas tanah sendiri.
Semakin mirisnya, dari hari ke hari di era semodern ini, konflik fisik dan kekerasan semakin menjadi pandangan biasa.
Tentu sangat bisa dipahami maksud dari konflik fisik yang saya maksud di mana masyarakat adat adalah pihak yang biasanya menjadi korban, bukan pelaku kekerasan, karena mereka sudah tidak memiliki kapasitas lagi untuk melawan secara signifikan.
Bahkan menghadapi pihak keamanan perusahaan yang semakin semena-mena saja mereka sudah tak berdaya, apalagi harus berhadapan dengan aparat, misalnya.
Sialnya, nampaknya, pihak pemerintah, baik daerah maupun pusat, justru memilih untuk diam dan secara diam-diam terus memberi ruang kepada pihak perusahaan untuk terus melebarkan sayapnya di lahan adat di satu sisi.
Di Sisi lain, menoleransi keputusan-keputusan teknis di mana pihak keamanan perusahaan terang-terangan melakukan supresi fisik kepada masyarakat setempat.
Pertama, sejatinya tidak layak pihak perusahaan terus berusaha untuk menjalankan niatnya mengembangkan lahan tersebut sebelum urusan dengan masyarakat adat selesai disepakati.
Tidak etis pula pemerintah membiarkan hal itu berlarut-larut karena nyatanya korbannya selalu dari pihak masyarakat adat setempat, bukan sebaliknya.
Kedua, atas nama penghargaan dan penghormatan kepada identitas lokal dan kearifan lokal, tak ada salahnya konsesi lahan tersebut ditinjau ulang.
Konsesi lahan di atas tanah adat akan menjadi kejahatan budaya dalam sejarah kita yang akan menyuluk dendam secara turun-temurun, yang akhirnya membuat konflik menjadi laten, menahun dan tak pernah selesai.
Ketiga, para pihak, atau katakan saja oknum keamanan perusahaan yang terbukti melakukan kekerasan fisik kepada masyarakat adat setempat yang sedang melakukan protes harus diproses secara hukum.
Hukum harus berlaku adil, jangan hanya masyarakat yang terbukti melakukan kekerasan dan perusakan yang melulu diperiksa, bahkan masuk penjara, tapi juga berlaku sebaliknya.
Pertimbangan-pertimbangan ini, dalam hemat saya, bisa diberlakukan secara nasional untuk kasus-kasus konflik agraria serupa.
Ada begitu banyak kasus konflik agraria di negeri ini sedari dulu yang menempatkan posisi masyarakat adat sama sekali tidak berdaya, tak punya ruang untuk bersuara, dan tak punya sumber daya ekonomi untuk mengorkestrasikan perlawanan.
Konflik agraria di Pulau Rempang, konflik lahan pada proyek strategis nasional seperti di lahan-pahan tambang yang harus menyita tanah masyarakat adat, atau program prioritas nasional seperti Mandalika yang justru meminggirkan masyarakat Sasak dari tanah adat mereka, misalnya, adalah contoh-contoh kasus di mana arogansi kekuasaan pemerintah pusat berpadu dengan keberingasan petugas keamanan perusahaan-perusahaan penerima konsesi, yang justru membuat citra investasi semakin buruk di mata masyarakat daerah.
Bukan karena masyarakat daerah antiinvestasi, tapi karena strategi dan cara yang diambil oleh pemerintah dan perusahaan justru menyakiti perasaan masyarakat daerah sedari awal proses investasi. Sangat disayangkan sekali!