Coba pikirkan, berapa kali kita makan sambil main HP? Atau sambil kerja? Atau lebih parah lagi, sambil nonton sesuatu di laptop?
Saya sendiri dulu sering melakukannya. Dulu saya pikir itu adalah hal yang biasa. Kita hidup di zaman yang serba cepat, jadi wajar kalau makan juga menjadi sekadar rutinitas. Yang penting perut terisi, urusan kualias menjadi nomor sekian.
Tapi lama-lama, saya mulai merasa ada sesuatu yang hilang. Makan menjadi hanya sekadar memenuhi fungsinya. Padahal, makanan itu lebih dari sekadar bahan bakar. Ada cerita di balik setiap hidangan, ada rasa dibaliknya yang seharusnya kita nikmati, ada hubungan yang bisa kita bangun baik itu dengan diri sendiri dan juga dengan orang lain.
Dari sinilah saya mulai mengenal mindful eating.
Mindful eating itu bukan diet, bukan aturan ketat tentang apa yang boleh atau tidak  boleh dimakan. Mindful eating tentang bagaimana kita makan. Bagaimana kita benar-benar hadir di momen makan itu sendiri, yaitu menikmati setiap suapan dan mendengarkan tubuh kita tentang apa yang kita makan.
Pernah tidak, kita makan bukan karena lapar, tapi karena bosan? Atau karena stres? Atau karena ada makanan di depan mata, jadi ya dimakan saja?
Saya dulu pun sering banget. Lapar atau tidak, kalau ada camilan di meja, tangan pasti otomatis nyomot. Kemudian baru sadar setelah perut mulai begah dan timbul rasa bersalah.
Mindful eating mengajarkan kita untuk lebih sadar. Sadar kapan kita benar-benar lapar, sadar dengan rasa makanan yang masuk ke mulut, sadar kapan tubuh sebenarnya sudah cukup atau sedang butuh makan.
Â
Mindful eating itu bukan sesuatu yang rumit.
Jangan makan sambil mengerjakan hal lain. Duduk, tatap makanan di depan kita, dan berikan waktu agar kita dapat benar-benar menikmatinya. Sebelum makan, coba perhatikan makanan kita. Warnanya bagaimana? Aromanya seperti apa? Saat masuk ke mulut, rasanya bagaimana?
Coba tanyakan ke diri sendiri: “Saya benar-benar lapar, atau cuma ingin makan karena kebiasaan?” Dan di tengah makan, cek lagi: “Saya masih butuh makan, atau sebenarnya sudah cukup?”
Mindful eating bukan tentang melarang makanan tertentu. Tidak ada makanan yang harus dihindari mati-matian. Yang ada, kita belajar mendengarkan tubuh akan kebutuhan makan dan menyeimbangkan kebutuhan kita.
Â
Salah satu tantangan terbesar dalam mindful eating adalah emotional eating, yaitu makan karena stres, sedih, atau bahkan karena senang.
Dulu, saya punya kebiasaan kalau sedang stres, pasti mencari sesuatu yang manis. Es krim, coklat, apa pun yang bisa membuat hati terasa lebih baik, walaupun hanya sementara.
Tapi setelah belajar mindful eating, saya mulai sadar, makanan bukan solusi buat semua emosi. Kadang, yang saya butuhkan bukan makanan, tapi istirahat, atau sekadar jalan kaki agar rileks.
Jadi kalau tiba-tiba ada dorongan buat ngemil, saya mencoba berhenti sejenak dan bertanya ke diri sendiri: Saya benar-benar lapar, atau saya cuma lagi butuh istirahat?
Kalau memang lapar, saya makan dengan sadar. Tapi kalau ternyata itu cuma dorongan emosi, saya mencari cara lain untuk mengatasinya, seperti mendengarkan musik, meditasi, atau sekadar duduk diam dan menarik napas dalam-dalam.
Â
Mindful eating buat saya bukan cuma soal makanan. Ini soal kembali ke kesadaran diri. Soal belajar menikmati hal-hal kecil yang sering kita lewatkan.
Mungkin kita tidak bisa selalu makan dengan sempurna setiap saat. Saya pun masih ada momen di mana saya makan sambil nonton atau ngemil tanpa sadar.
Jadi, kapan terakhir kali anda benar-benar menikmati makanan Anda?