MAGETAN, KOMPAS.com – Mendung hitam mulai bergayut ketika tangan renta Yati (70), warga Desa Pelem, Kecamatan Kartoharjo, Kabupaten Magetan, Jawa Timur membuka pintu tripleks yang sudah rapuh menyambut Kompas.com yang menyambangi rumahnya.
Sesekali wajah Yati terlihat mendongak ke atas memastikan mendung yang bergayut tak menjadi hujan.
“Kalau sudah mendung begini, khawatir hujan. Harus siap-siap untuk berteduh di rumah tetangga,” ujarnya Rabu (19/2/2025).
Kekhawatiran Yati beralasan.
Setelah Kompas.com masuk ke rumah berukuran 4×6 tersebut, rumah itu tak memiliki atap lagi karena genting yang tersisa hanya beberapa biji yang menyangkut di antara reng bambu yang sudah lapuk.
Baca juga: Bupati Kukar Ingin Turunkan Angka Kemiskinan lewat Bedah Rumah
Yati mengaku sudah belasan tahun terpaksa tinggal di rumah yang dibangun sejak anak ketiganya lahir hingga saat ini memiliki tiga anak itu.
“Saya sudah lupa berapa tahun, tapi rumah ini dibangun suami saya setelah pulang dari Jakarta. Ingat saya sejak anak ketiga saya, Ayu, lahir. Sekarang sudah punya tiga anak, tapi saya tidak tahu di mana keberadaannya sekarang,” ucapnya dengan suara lirih.
Yati mengaku tak mengingat kedua orangtuanya karena sejak kecil dia merupakan anak yang diadopsi oleh keluarga di Jakarta hingga dia bekerja di sejumlah pabrik untuk menyambung hidupnya.
Dia juga mengaku tak bisa sekolah karena kondisi ekonomi keluarga angkatnya.
Saat bekerja di salah satu pabrik di Jakarta, dia mengaku bertemu dengan suaminya, Warsini, yang berasal dari Kabupaten Magetan, dan menikah.
“Sejak menikah sampai punya dua anak, kami sering pindah kontrakan kerja serabutan sampai akhirnya pulang ke sini karena anak ketiga saya mau lahir,” tuturnua.
Membangun rumah mungil
Di Desa Pelem, suaminya Warsini membangun rumah mungil dengan sumur di bagian belakang rumah.
Setelah anak ketiga lahir, suaminya kembali ke Jakarta untuk bekerja.
Hingga saat ini, rumah yang dibangun perlahan hancur. Yati mengaku tak tahu lagi keberadaan suaminya.
“Suami saya berkali-kali menikah, tapi sampai saat ini saya tidak pernah bertemu lagi. Sampai rumah yang dia bangun ini hancur, saya tetap tinggal di sini,” kata Yati sambil terlihat air mata di sudut matanya.
Baca juga: Wujudkan Pemerataan Rumah Layak Huni, Pemkab HST Jalankan Bedah Rumah di Daerah Rawa
Meski mengaku hidup sulit, dia mengaku bisa membesarkan anak-anaknya hingga anak pertamanya menyusul bapaknya ke Jakarta dan hingga saat ini tidak diketahui keberadaannya.
Sementara itu, anak keduanya yang sudah menikah saat ini mengontrak rumah di desa lain karena hanya bekerja sebagai buruh bangunan.
Adapun anak ketiganya yang sudah memiliki tiga anak juga sempat mengontrak rumah yang tak seberapa jauh dari rumahnya saat ini.
“Kalau malam saya dulu numpang tidur di rumah kontrakan anak, tapi karena tidak enak, mereka juga ngontrak sekarang, ya numpang di rumah siapa saja,” ucapnya sambil menyeka air matanya.
Bergantung hidup dari belas kasihan
Untuk menyambung hidup, Yati mengaku hanya bisa bergantung pada belas kasihan tetangganya.
Sesekali dia mengaku diajak salah satu perangkat desa untuk mendapatkan bantuan.
Dia mengaku sedih dan bingung harus ke mana menghadapi hidupnya.
Satu-satunya harapan adalah dengan menempati rumah yang dibangun suaminya meski kondisinya saat ini hanya beratap langit.
“Saya juga bingung harus bagaimana. Kemarin ada tawaran dari desa untuk tinggal di SD, tapi saya tidak kerasan,” ujarnya.
Suti, salah satu warga Desa Pelem yang memiliki warung, mengaku sering disambati Yati untuk meminjam uang maupun sembako untuk menyambung hidupnya.
Dia mengaku kadang trenyuh melihat kondisi tetangganya tersebut karena tetap bertahan di rumah yang atapnya sudah ambruk belasan tahun lalu.
“Saya kan pedagang kecil, kadang bisa minjami uang atau beras, tapi kadang ya trenyuh kalau tidak bisa minjami uang. Dulu sempat direhab atapnya oleh pemerintah desa, tapi rusak lagi,” katanya.
Baca juga: Sumsel Luncurkan Gerakan Bedah Rumah Serentak, Ada 8.391 Unit Rumah Akan Direnovasi
Rehab rumah terkendala status lahan
Kasi Pelayanan Desa Pelem, Harto mengatakan, Yati masih tercatat sebagai warga Desa Pelem dengan nama Yatinem.
Dia mengaku kondisi rumah Yatinem sudah diusulkan untuk mendapatkan program rehabilitasi rumah layak huni ke pemerintah daerah, tetapi sayangnya status tanah yang ditempati rumah Yatinem bermasalah.
“Sudah kita usulkan untuk program rehabilitasi rumah, tapi terkendala status tanah. Keluarga suaminya tidak mengizinkan untuk rehabilitasi rumah di situ,” katanya.
Meski demikian, Harto memastikan bahwa Yatinem merupakan warga yang tercatat sebagai penerima manfaat program beras dari Bapanas serta menerima program Kasih Bunda.
“Yang tahu pasti mbak Triana itu, tapi sudah menerima bantuan beras dan program Kasih Bunda,” ucapnya.
Sementara itu, Kabid Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Kabupaten Magetan, Sutrisno memastikan pemerintah daerah sudah berupaya memberikan bantuan untuk tinggal di shelter milik pemerintah daerah, tetapi Yati menolak.
Menurutnya, desa juga pernah menawarkan pembangunan kamar layak huni di lahan aset desa, tetapi Yati juga menolak.
“Pernah kita kunjungi dengan tawaran tinggal di shelter rumah lansia Glodok, yang bersangkutan tidak mau. Desa mau membangunkan kamar layak huni di lahan aset desa, dia juga tidak mau. Yang bersangkutan penerima bantuan Bunda Kasih,” ucapnya.
Berharap ikut anak
Di ruang utama rumah berukuran 2×3 meter yang tampak terang benderang oleh cahaya matahari yang kembali muncul, terdapat meja kecil tempat menaruh piring dan sendok yang bersebelahan dengan tungku kecil tempat memasak.
Perabot rumah yang terlihat agak bagus adalah lemari yang berada di sudut ruang tengah berukuran 2×1 meter yang ditutupi plastik bagian atasnya agar hujan tak cepat merusak kayu.
“Biar tidak kena hujan, isinya ya cuma baju sekedarnya,” ujar Yati dengan sesekali memeriksa mendung yang telah kembali menghilang.
Yati berharap bisa hidup kembali dengan anak-anaknya. Namun, mengingat hidup anaknya yang susah saat ini, dia mengaku memilih mengubur impiannya tersebut.
Saat ini, dia memilih tinggal di satu-satunya sisa harta miliknya, rumah yang tak beratap.
“Pinginnya ikut anak perempuan saya, tapi saat ini saya tidak tahu di mana keberadaannya,” kata Yati membawa tatapannya menerawang ke langit.