TRIBUNAMBON.COM – DI MALUKU, ada frasa “Mata Rumah”. Ini kata ganti fisik untuk satu “titik marga keluarga” dan generasi di satu Negeri.
Istilah ini juga sekaligus status kebaikan komunal satu marga di masyarakat.
Kian berlapis generasi bermukim di satu Mata Rumah, maka “marga keluarga” itu masih mampu merawat kebaikan leluhur dan sejahtera.
“Anak, cucu, saudara tak berebut harta, dan tatap menjaga warisan tete tua (moyang),” ujar Syahruddin Abubakar Wattimena (34), kala jadi culture guide bagi tim reportase Mata Lokal Experiences TribunAmbon.com di Luma Latu Karas Upu Latu Sitania, di Jazirah utara Pulau Ambon, Kamis (30/1/2025).
Negeri Hitu merupakan 11 negeri adat tua di Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku.
Negeri ini berjarak sekitar 31 km di Jazirah utara Pulau Ambon. Ini juga sekitar 1,1 km timur puncak Gunung Salahutu (1.2 mdpl).
Karena melintasi kaki Gunung Salahutu dan gunung Salamoni (817 mdpl), dari Kota Ambon butuh sekitar 45 menit bermobil ke negeri ini.
Baca juga: Warga Hitu Sensus Penduduk Pakai Ketupat, Tahun Ini 7.800 Jiwa
Luma Latu Karas adalah penyebutan warga Negeri Hitu untuk Istana Raja.
“Rumah ini disebut sebagai Luma Latu Karas. Secara turun temurun ditempati Raja atau Upu Latu Sitania,” ujar Maula Pelu (25), warga Hitu.
Rumah Maula hanya berjarak sepelemparan batu orang dewasa dari Luma Latu Karas.
Luma Latu Karas juga rumah paling besar di Negeri Hitu. Bangunan besar lainnya masjid, dan sekolah.
Inilah juga satu-satunya bangunan dengan Dua Kapala Luma (muka rumahnya).
Baca juga: Inilah Pohon Paling Dilindungi Warga Hitu dan Kodam XVI Pattimura
Kapala rumah pertama dan utama berhadapan langsung gerbang Pelabuhan Huseka’a di ruas jalan provinsi. Kapala rumah kedua di ruas jalan Latu Sitania.
“Kalau rumah warga lain ada panta ruma (bangunan belakang), Luma Latu Karas dapurnya di samping,” kata Maula.
Rumah tanpa “panta rumah” dan dua Kapala Rumah sekaligus jadi simbol, tamu dan rakyat diterima di pintu depan bukan di belakang atau di samping.
Rumah ini menegakkan agama jadi sendi konstruksi.
Upu Latu Satania tak mau rumahnya lebih besar dan tinggi dari masjid tua Hitu.
Selama 17 generasi, rumah berkonstruksi kayu jati itu masih terpelihara.
Di istana Raja Hitu Lama ini pula terpajang dua patung burung Garuda.
Keduanya bermaterial metal tebal.
Baca juga: Nasi Kelapa Nene Jo’o Jadi Legend di Negeri Hitu
Garuda pertama di selasar teras rumah pertama.
Garuda kedua di bubungan Kapala Rumah kedua. Bentuknya aestetik dan eksentrik.
Patung burung Garuda ukuran rentang 2×1 m membentang dan menonjol.
“Itu metal dibuat khusus di Jawa,” kata Upu Latu Salhana Pelu (49), kepada Tribun.
Di Maluku, Upu berarti Tuan. Latu bermakna raja. Ini sapaan orang kedua.
Sedangkan saat Salhana jadi orang ketiga, sapaannya menjadi Upu Latu Sitania.
Salhana Pelu adalah Raja generasi ke-XVIII Negeri Hitu.
Satu generasi, bisa ada raja yang dua atau tiga orang pergantian raja.
“Saya Raja generasi ke-18. Sebelumnya Upu Latu Alampati Pelu, tahun 2006,” ujarnya saat menerima Tribun, di aula Luma Latu Karas Hitu, Senin (27/1/2025) petang.
Daulat Salhana jadi Raja saat foto wisuda sarjana ilmu politik di Unpatti baru dipajang di ruang tengah Luma Latu Karas.
“Saya belum menikah, saat menerima Sou (titah) dari Latu sebelumnya untuk saya jadi raja pengganti,” ujarnya.
Raja sebelum Upu Latu Salhana Pelu adalah Alampati Pelu. Beliau ditunjuk jadi Raja melalui titah dari Upu Latu Alampati Pelu atau bahasa kampung sebut ‘Sou’ atau titah.
Salhana baru menikahi bintara Polwan Nurul Hidayati, tiga tahun setelah bergelar raja Hitu.
Warga Hitu menyapa “permaisuri” Upu Latu dengan Mama Nyora.
Kini, Upu Latu Salhana Pelu memiliki empat orang anak. Diantaranya, Mateuna Ibnu Malik Dzaki Pelu, Malika Fahima Dzihni Pelu, Hunilamu Baina Abyan Pelu, dan Humaira Alfathunnisa Pelu.
Sementara Upu Salhana adalah anak ketujuh dari delapan bersaudara, anak pasangan Hamin Pelu dan Rugaya Pelu. Hamin Pelu tak memerintah.
Kakek Salhana, Upu Latu As’ad hampir 42 tahun memimpin kuasa pemerintahan dan adat negeri dari Luma Latu Karas.
Ia menjadi kuasa pemerintahan dan adat negeri dari Luma Latu Karas.
Artinya, di istana raja itulah Salhana disusui ibunya, dibesarkan orangtuanya, dan menghabiskan masa remaja, sebelum kuliah di Universitas Pattimura, sekitar 1 jam dari tanah kelahirannya.
Salhana bersyukur, proses suksesi kepemimpinan di Negeri Hitu, senantiasa damai tanpa konflik.
“Alhamdulillah, dengan adanya sistim Sou atau titah yang selalu di jaga secara turun temurun tanpa adanya perubahan dari raja pertama sampai raja Salhana ini, pemerintahan di Negeri Hitu ini tidak ada masalah atau perdebatan. Nilai-nilai adat ini selalu di jaga oleh raja, tokoh adat, tokoh agama dan seanteru masyarkat Negeri Hitu,” tegasnya.
Hitu adalah salah satu kerajaan tua di Maluku. Kerajaan ini tercatat berkuasa antara tahun 1470–1682.
Tanah Hitu jadi sentra distributor perdagangan rempah dunia bersama Kesultanan Tidore, Ternate, Gowa dan Batavia.
Masa jayanya bersamaan ekpansi kolonialisme rempah dan agama Eropa ke Asia, abad 14 hingga 18 Masehi.
Kafilah dagang dari Arab, Persia, Jawa, Melayu, dan Tiongkok yang berdagang dan mencari rempah-rempah di Tanah Hitu, serta banyaknya pendatang dari Ternate, Jailolo, Obi, Makian, dan Seram yang berdomisili di Tanah Hitu.
Raja I Kerajaan Negeri Hitu adalah Abubakar Sidiq. Sementara Zainal Abidin iyalah orang pertama siarkan agama di Tanah Hitu.
Dialah bergelar Upu Latu Sitania pada tahun 1470, sekaligus nama Istana Raja Hitu, hingga saat ini.
Abubakar Sidiq, seorang pemuda pandai, tegas, adil dan mengabdi untuk kemakmuran rakyat.
Makam raja pertama ini, masih terawat. Lokasinya sekitar 1.1 km sebelah selatan Istana.
“Setiap 7 Syawal berkumpul di Luma Latu Karas tokoh adat, agama, serta seanteru warga berziarah ke makam Raja pertama,” ujar Salhana seraya menunjuk kompleks makam di arah tenggara Istana.
Banyak tradisi tua dan unik masih terpelihara. Sebelum pemilihan presiden 2024 lalu, pemerintahan Raja Salhana misalnya, masih mendata penduduk dengan “jumlah ketupat” yang dibawa kepala keluarga dan mata rumah ke masjid.
Tahun 2019 lalu, tradisi tua Pasa’a Ate’ Luma Latu Karas (pergantian Atap Rumah Raja) dihelat.
Raja Salhana memimpin upacara didampingi Kapitan dan hulubalang kerajaan.
Tradisi ini dihelat sekitar 10-20 tahun sekali. Ini juga tergantung level kerusakan atap rumah raja.
Proyek Pasa’a Ate’ Luma Latu Karas direncanakan tiga bulan sebelum hari-H. Banyak negeri yang sudah rehab rumahnya mengikuti perkembangan jaman, namun sang raja tetap berupaya memelihara apa yg di lakukan raja-raja sebelumnya seperti rumah yang masih makai atap daun sagu.
Adat bersendi agama dan negara kesatuan Republik Indonesia, masih jadi pilar kehidupan di Negeri Hitu.
Hitu adalah satu dari 1.198 negeri di Maluku.
Negeri-negeri tersebut tersebar di 9 kabupaten dan 2 kota di Maluku.
Di Kabupaten Maluku Tengah, Hitu satu dari 186 negeri.
Salhana Pelu bersyukur, hingga kini rakyatnya masih menjunjung tinggi nilai-nilai adat dari pendahulu sebelumnya.
Di Hitu, prinsip “Potong di kuku rasa didaging, sagu salempeng dipata dua, ale rasa beta rasa, katong samua orang basudara. Salam damai dari Jazirah.” masih terselenggara. (*)