KOMPAS.com – Di tengah keterbatasan ekonomi, seorang wanita berhati mulia di Polewali Mandar, Sulawesi Barat, merawat dua keponakannya yang menderita lumpuh layu sejak kecil.
Kedua bocah yatim piatu ini kehilangan kedua orang tuanya sekitar sepuluh tahun lalu, membuat mereka bergantung sepenuhnya pada kasih sayang sang tante, Hasma.
Untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka, Hasma hanya mengandalkan penghasilan dari berjualan kue apang dan sesekali nasi kuning di depan rumahnya.
Namun, pendapatan yang tak menentu membuat kehidupan mereka jauh dari kata cukup.
Kehidupan Penuh Tantangan
Safi’i (13 tahun), seorang bocah yang menderita lumpuh layu sejak lahir, tercatat sebagai warga Lingkungan Ujung, Kelurahan Polewali, Kabupaten Polewali Mandar.
Sejak lahir pada 2011, ia tidak bisa berdiri, duduk, ataupun berjalan tanpa bantuan. Setelah kedua orang tuanya meninggal – ayahnya pada 2017 dan ibunya pada 2019 – ia tinggal bersama tantenya.
Sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara, Safi’i kini hanya bisa bergantung pada Hasma, seorang janda lansia yang menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga.
Kakak tertuanya, Takwin, bekerja sebagai buruh di Morowali, sementara kakaknya yang lain, Arif, juga masih dalam asuhan Hasma.
Kondisi rumah tempat tinggal mereka pun sangat memprihatinkan. Rumah panggung berukuran 7×10 meter persegi itu sudah tidak layak huni. Lantai atasnya rusak parah, sehingga mereka terpaksa tinggal di bagian bawah rumah yang juga berfungsi sebagai dapur dan tempat beraktivitas.
Beberapa tiang penyangga sudah lapuk dimakan usia, bahkan harus ditopang bambu agar tidak ambruk.
Baca juga: Prakiraan Cuaca Yogyakarta Hari Ini: Cerah Sepanjang Hari
“Tidak ada kamar mandi yang layak di rumah ini, hanya ada bak penampungan tanpa dinding pelindung,” ujar Hasma.
Bantuan yang Terhenti
Hasma mengungkapkan bahwa mereka pernah mendapat bantuan dari pemerintah berupa beras 10 kilogram, namun bantuan ini diterima hanya tiga bulan sekali.
Selain itu, bantuan sosial melalui kartu ATM merah putih hanya memberikan Rp200.000 hingga Rp400.000 setiap tiga bulan.
“Saya tidak tahu kenapa bantuan itu tiba-tiba terputus,” katanya.
Ia juga pernah menerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Program Keluarga Harapan (PKH), tetapi dua tahun terakhir namanya dicoret dari daftar penerima tanpa penjelasan jelas.
Tak hanya itu, Hasma juga sempat diusulkan sebagai penerima bantuan bedah rumah.
Namun mendekati realisasi bantuan, namanya malah dicoret tanpa alasan yang memadai. Ia mengaku kecewa karena merasa lebih layak dibandingkan penerima lainnya.
“Saya sudah mengumpulkan berkas-berkas yang diminta, bahkan sempat disuruh mencari tukang dan material bangunan. Tapi mendekati pencairan, nama saya dicoret begitu saja,” keluhnya.
Harapan untuk Masa Depan
Kepala Lingkungan Ujung, Muliadi, mengakui bahwa kondisi Hasma dan keponakannya memang sangat memprihatinkan.
Ia berjanji akan melaporkan kembali kasus ini ke pemerintah kelurahan dan dinas terkait agar nama mereka kembali masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) sehingga bisa mendapatkan kembali bantuan sosial.
“Kami akan mencoba mengusulkan kembali agar keluarga ini mendapatkan bantuan yang layak,” ujarnya.
Kepala Bidang Dinas Sosial Polewali Mandar, Sumarni, mengatakan bahwa pihaknya akan melakukan verifikasi ulang terhadap kondisi Hasma dan Safi’i untuk memastikan mereka kembali mendapatkan haknya.
“Kami akan cek langsung ke lapangan dan melihat apakah nama mereka masih terdaftar di DTKS,” pungkasnya.
Hasma hanya berharap ada kepedulian dari pemerintah atau dermawan untuk membantu keluarganya.
“Saya ingin rumah kami diperbaiki dan anak-anak saya mendapatkan kehidupan yang lebih layak,” harapnya.
Kisah ini menjadi potret nyata bagaimana kehidupan masih penuh ketimpangan. Semoga kepedulian masyarakat dan pemerintah dapat segera memberikan solusi bagi Hasma dan dua keponakannya yang membutuhkan uluran tangan.
