Beberapa hari ini belakangan viral pertunjukan dangdut jadul yang membuat suhu-suhu skena jaman 70-80an kembali bersemi. Om Lorenza Musik adalah group musik yang sukses menyita perhatian para pecinta musik lawas sekaligus masyarakat Indonesia umumnya. Mengusung konsep jadul ternyata membawa “gairah” baru bagi para penikmat dangdut dan memberi variasi baru dalam kancah musik tanah air. Di balik viralnya group musik ini ada beberapa hal yang menjadi faktor pendukung; politik, nostalgia, dan jati diri. Â
Beberapa minggu belakangan, tensi politik tanah air agak sedikit menghangat. Mulai dari isu pagar lautan, efisiensi dana kementerian, hingga urusan elpiji 3 kg. Akibatnya, banyak masyarakat awam yang tiba-tiba menjadi “ahli” dadakan. Saat nongkrong di warung, mereka berdebat sengit, ada yang membawa data hasil pencarian Google, ada juga yang hanya mengandalkan frasa “kata orang, katanya”. Perdebatan ini sering kali berujung pada otot leher yang menegang dan kadar kolesterol yang naik, terutama bagi mereka yang punya riwayat asam urat. Tak jarang, suasana panas ini bahkan terbawa hingga ke tempat kerja, menyebabkan stres ringan dan sedikit migrain. Karena itu, rakyat—terutama para pecinta dangdut—perlu mencari cara untuk merilekskan diri. Salah satu alternatif murah, merakyat, dan menyenangkan adalah menyaksikan pertunjukan Om Lorenza Musik. Apalagi saat lagu Tambal Ban mulai bergema dengan irama yang ceria dan lirik yang sangat khas. Tak butuh waktu lama, penonton pun mulai mengeluarkan jurus goyangan maut mereka. Sejenak, semua permasalahan pelik tentang ekonomi, politik, dan keuangan yang tadi mereka pikirkan pun “tenggelam” dalam alunan musik lawas. Tubuh pun otomatis melepas hormon dopamin, membuat suasana hati lebih bahagia dan tubuh lebih rileks. Karena kadang, solusi terbaik dari hiruk-pikuk dunia bukanlah debat kusir, melainkan sekadar menikmati musik dan bergoyang sepuasnya.
Nostalgia masa lalu menjadi alasan utama di balik viralnya lagu jadul ini. Generasi 70-an dan 80-an—dengan ciri khas celana cutbray dan status sebagai suhu skena Indonesia—barangkali mulai merasa jenuh dengan musik zaman sekarang yang cenderung kurang bermakna. Musik masa kini lebih banyak menonjolkan gerakan tubuh ketimbang kualitas suara penyanyi. Mereka rindu kembali ke masa lalu, mengajak memori mereka “bertamasya” ke zaman ketika berjoget bukan sekadar ajang pamer di Instagram atau WhatsApp, melainkan benar-benar menikmati alunan musik. Saat itu, penyanyi lebih mengutamakan skill tarik suara dibanding besarnya honor. Selain menikmati dangdut yang santai dan mengena di hati, acara ini juga menjadi ajang silaturahmi bagi kawan lama—baik teman sekolah, kuliah, maupun rekan sepermainan dulu. Tapi tentu saja, bukan untuk CLBK. Justru, ini momen untuk menyatukan kembali kepingan-kepingan kenangan yang terserak, dalam sebuah reuni penuh kehangatan. Apalagi, banyak yang masih menyimpan pakaian jadul mereka. Hal ini semakin menambah suasana nostalgia yang syahdu, penuh kenangan, dan membawa sedikit kebanggaan. Kalau dilihat dari video-video di Instagram dan TikTok, banyak yang datang dengan outfit khas zaman lawas lengkap dengan aksesori. Artinya, mereka benar-benar niat untuk bernostalgia dan membangun kembali kenangan lama. Tidak ketinggalan juga secara tidak langsung para suhu skena tersebut ingin menunjukan bahwa outfit mereka tidak kalah kece dengan gen Z pada saat ini.
Yang ketiga, kembalinya musik jadul ini menurut saya menyampaikan pesan tersirat bahwa dangdut merupakan jati diri; bagian dari masyarakat kita jauh puluhan tahun sebelumnya. Negasi yang ingin disampaikan adalah dangdut merupakan wadah yang mempersatukan semua kalangan masyarakat tanpa membedakan etnis, golongan, agama dan latar belakang Pendidikan. Yang kedua dangdut jadul adalah tentang kesantunan, persahabatan dan kemeriahan. Mereka yang berjoget sangat enjoy dan menikmati liukan-liukan irama musik tanpa menenggak minuman keras dan sambil merokok serampangan. Semua berjoget dengan tertib bahkan cenderung kompak menggunakan gaya jadul yang khas dan sesekali bersorak bersama khususnya ketika lagu “Tambal Ban” sampai pada bait-bait tertentu. Hal lain yang ingin ditegaskan adalah marwah penyanyi dangdut itu sendiri. Menikmati musik dangdut tidak melulu tentang lenggak-lenggok biduan diatas panggung yang terkadang lebih menonjolkan “goyangan” yang membuat mata terbelalak daripada kualitas suara dan attitude.
Dangdut jadul berhasil menjadi oase ditengah hiruk pikuk suasana perpolitikan tanah air yang semakin hari semakin “hangat” dan ketat layaknya pertandingan Liga Inggris. Sekaligus menjadi “air conditioner” yang mendinginkan situasi ditengah masyarakat yang kadang-kadang sibuk berdebat politik di kedai kopi. Mempersatukan netizen yang kadang sudah kadung  terdikotomi oleh banyak narasi-narasi politik yang memakasa kita “terbelah” untuk setuju dan tidak setuju akan sesuatu. Semoga lagu lawas ini membawa kedamaian dan keceriaan seperti “gurihnya” suara penyanyinya.